Kamis, 08 Mei 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN, PRO-LINGKUNGAN…?

Hutan lindung yang dalam undang-undang No. 41/1999 seharusnya dijaga secara all out, pada kenyataannya terus saja dirongrong. Di Kalimantan timur, misalnya, dalam tiga tahun terakhir, setiap musim hujan banyak daerah yang tenggelam. Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkugan hidup di Indonesia ?

Oleh: Arie Sunandar

Orang Jepang bilang, lingkungan hidup kita adalah cermin masarakat kita. Karena itu, kalau kita lihat lingkungan hidup kita amburadul, maka itu adalah cermin masyarakat kita. Pencemaran sungai, udara, bunyi, bahkan makanan dan minumanseakan telah menjadi menu sehari-hari di kota-kota besar di Indonesia.

Ironisnya, dari tahun ke tahun, problem pencemaran lingkungan tersebut sulit diatasi. Berbagai kebijakan pemerintah ditambah perangkat perundang-undangan yang dibuat untuk mengatasi masalah tersebut sayangnya masih nihil dalam hasil. Demikian disampaikan Wahyudin Munawir, anggota komisi VII DPR RI, dalam seminar lingkungan hidup, sabtu (26/04) di ruang sidang utama rektorat Universitas Negeri Yogyakarta.
Wahyudin menambahkan, di DKI Jakarta, Perda
Antirokok di ruang publik yang pada awal pemberlakuannya sempat membuat gempar, tapi dalam pelaksanaannya dapat dibilang nyaris nol. Orang masih merokok dimana-mana, bahkan di bus-bus umum. Tidak hanya itu, bus umum serta kendaraan tertentu di DKI masih terlihat mengeluarkan asap yang amat banyak. Dengan demikian Perda Nomor 2 Tahun 2005 ini terkesan asbun karena perangkat implementasinya tidak disiapkan.
Ia melanjutkan, ditingkat pusat, hal yang sama terjadi. UU tentang hutan lindung dilanggar sendiri untuk memberikan konsesi pertambangan kepada perusahaan-perusahaan tambang emas dan batubara. UU No. 41/1992 direvisi dengan keppres No.41/2004 yang memberikan izin penambangan di hutan lindung pada 13 perusahaan.

Kebijakan Untuk Siapa?

Daerah-daerah yang tadinya aman, kini mulai terkena bencana alam. Penyebabnya tak lain karena Pemda membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro-lingkungan hidup. Sebaliknya kebijakan Pemda lebih banyak pro-pengusaha (bisnis) demi keuntungan sesaat. Contohnya adalah penggusuran petani lahan pasir di Bantul, Yogyakarta. Tiba-tiba Pemda berniat untuk menggusur lahan para petani untuk dijadikan pertambangan pasir besi. Padahal pertambangan tersebut berpotensi merusak lingkungan pantai bantul dan sekitarnya.
Wahyudin menjelaskan, dalam bidang energi, kebijakan pemerintah juga tidak pro-lingkungan. Hal ini dapat ,dilihat dari sumber energi yang digunakan. Pemerintah lebih memilih mengucurkan dana puluhan triliun rupiah untuk pembelian BBM. Kalau kita lihat sebenarnya Indonesia memiliki sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Khususnya pada energi matahari, angin, dan panas bumi yang melimpah.
Sumber lain yang aman, namun masih kontroversi yaitu energi nuklir juga dapat menjadi alternatif pemenuhan energi. Sumber energi ini tidak mengeluarkan emisi gas CO2 serta tidak menambah efek global warming. Memang masih terjadi kontroversi akibat ketakutan masyarakat. Kita dapat belajar dari negara seperti jepang maupun perancis yang berhasil dengan pengembangan energi nuklirnya. Bahkan 80% kebutuhan energi perancis disuplai oleh PLTN.
Terakhir yang banyak disepelekan, sampah juga bisa menjadi sumber energi. Di Jerman, perputaran ekonomi sampah dan konversinya mencapai 600 juta dolar dan menyerap 250.000 tenaga kerja. Di Indonesia, sampah masih menjadi barang kotor yang dipandang sebelah mata.

Peran Mahasiswa

Fiqi Akhmad, ketua panitia seminar menjelaskan bahwa, dari seminar ini diharapkan peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa semakin menyadari permasalahan lingkungan yang ada disekitar mereka. Tidak hanya beraksi melalui seminar atau demo-demo yang biasa, tapi juga tindak nyata untuk turut memecahkan permasalahan lingkungan. Untuk itu, kelanjutan dari seminar ini adalah dengan menanam pohon di beberapa kampus. Penanaman pohon di kampus merupakan simbol dari perhatian mahasiswa terhadap lingkungannya.
Tidak hanya sebatas penanaman pohon, Wahyudin mengajak mahasiswa untuk turut mensosialisasikan undang-undang pengelolaan sampah. Hal ini dinilai penting dikarenakan masyarakat sampai saat ini masih sangat awam dalam mengelola sampah.